Wednesday, March 12, 2008

Jurlak PMK 22

Akhirnya, setelah sebulan lebih diperdebatkan oleh berbagai kalangan, Jurlak untuk PerMenKeu No.22 dikeluarkan. Jurlak yang berbentuk Surat Edaran Dirjen Pajak dengan nomor SE-16/PJ./2008 tanggal 10 Maret 2008, menjawab semua keluhan Wajib Pajak.

Bagian terpenting dari Surat Edaran tersebut adalah :
11. Sehubungan dengan hal-hal yang diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 10, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Pengurus, komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali serta karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan perusahaan dapat melaksanakan hak dan/atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.
b. Dokumen perpajakan seperti Faktur Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak, dapat ditandatangani oleh pejabat/karyawan yang ditunjuk oleh Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.
c. Penyerahan dokumen yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu, tidak memerlukan surat kuasa khusus atau surat penunjukan.
Dengan demikian, PMK 22 dipergunakan sebagai dasar Surat Kuasa Khusus yang diberikan kepada pihak yang bukan pengurus. Salah satunya apabila SPT Tahunan ditandatangani oleh karyawan yang tidak dapat dikategori Point 11 ayat a tersebut diatas.

Monday, March 10, 2008

Permenkeu No.22 Tahun 2008

Belakangnya ini, kalangan perpajakan kita dihebohkan oleh Peraturan tentang Kuasa Wajib Pajak, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa. Peraturan tersebut merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007.

Yang menjadi pasal kontraversial dari peraturan tersebut adalah prasyarat untuk kuasa non-konsultan hanya dibatasi untuk perusahaan beromset dibawah 2,4 Milyar. Angka tersebut dianggap terlalu kecil dan mengada-ngada. Bahkan untuk perusahaan kecil dan menengah pun mampu mencapai angka tersebut. Pasal tersebut membuat perusahaan mau tak mau berkewajiban memiliki konsultan pajak dalam mewakili hak mereka di perpajakan jika direksi berhalangan, dan itu berarti munculnya biaya tambahan yang seharusnya tidak ada.

Dikalangan fiskus sendiri, terjadi perbedaan pendapat atas penafsiran dari PMK No.22 tersebut. Beberapa KPP menganggap bahwa peraturan tersebut hanya berlaku untuk kuasa atas tanda tangan Surat Pemberitahuan baik Tahunan maupun Masa, sedangkan sebagian berkesimpulan termasuk didalamnya dokumen pajak seperti Faktur Pajak dan Bukti Potong. Bahkan beberapa wajib pajak yang mengetahui adanya peraturan tersebut mulai menolak menerima Faktur Pajak jika tidak ditandatangani oleh direksi/pengurus.

Nah... mari kita lihat, seperti apa definisi direksi atau pengurus menurut Undang-undang. Menurut UU No. 28 Tahun 2007, Pasal 32 yang berbunyi :
"(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan."
Penjelasan atas Pasal tersebut diatas :
Ayat (3) Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Yang dimaksud dengan kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
Ayat (3a) Cukup jelas.
Ayat (4) Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
Melihat pasal tersebut diatas, pengurus adalah seseorang yang tidak harus duduk di jajaran direksi (direktur dan komisaris), selama orang tersebut memiliki kewenangan atas arah kebijakan perusahaan. Masalah yang mungkin timbul adalah tolak ukur dan bukti atas kewenangan yang dimiliki karyawan diluar direksi dalam menentukan kebijakan perusahaan yang apakah semudah hanya menandatangani cek?

Jadi apakah seorang Manajer, seorang Kabag Divisi Pajak dapat dikatakan pengurus? Apakah perlu surat kuasa yang menunjuk yang bersangkutan dalam menandatangani dokumen pajak? karena toh mereka juga pengurus sesuai yang diamanatkan Undang-undang.

Meninjau kembali PP No.80 Tahun 2007, yang menjadi landasan dikeluarkannya peraturan Menkeu tersebut, akan terasa janggal karena Pasal 31 yang diamanatkan adalah hak dan kewajiban konsultan pajak yang ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak, bukan non-konsultan atau karyawan.

Akhir kata, kalangan profesional pajak masih menunggu penjelasan atas Peraturan yang sangat "aneh" dan berat sebelah. Semoga fiskus, dalam hal ini jajaran atas dirjen pajak, harusnya mendapat pelajaran yang berharga dari peraturan yang memberatkan tersebut.